PERSELIHAN PERBURUHAN
A.
Pengertian
Secara umum setiap
perselisihan atau ketidaksesuaian antara majikan dengan buruh mengenai hubungan
kerja, syarat-syarat kerja atau keadaan perburuhan merupakan perselihan
perburuhan. Singkatnya perselihan perburuhan dapat merupakan perselisihan
perburuhan perseorangan maupun kolektif. Menurut UU No 12 tahun 1957,
perselihan perburuhan adlaah pertentangan antara majikan atau perkumpulan
majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak
adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau
keadaan perburuhan (pasal 1 ayat 1 huruf c)
Dalam kepustakaan
perselisihan perburuhan dibedakan menjadi dua yaitu: (1) perselihan hak atau rechtsgechillen yaitu perselihan yang
timbul karena salah satu pihak dala perjanjian kerja atau perjanjian perburuhan
tidak memenuhi isi perjanjian, peraturan majikan atau undang-ubdang. (2)
perselihan kepentigan atau belangengeschillen
pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh
karenan tidak adanya persesuaian paham mengenai syarat-syarat kerja dan/atau
keadaan perburuhan.
B.
Penyelesaian
Perselihan Perburuhan
Berdasarkan pada Pasal
50 UU No 2 tahun 1980 dan UU darurat No
1 Tahun 1951, UU No 22 tahun 1957 dapat disimpulkan :
1.
Untuk
perselisihan hak ada dua lembaga yang berwenang mneyelesaikannya yaitu
peradilan umum dan panitia penyelsaian perselisihan perburuhan.
2.
Untuk
perselisihan hak yang diajukan ke
peradilan umum dapat diajukan oleh buruh perseorangan maupun oleh serikat
buruh atau oleh majikan.
3.
Untuk
perselisihan hak yang diajukan ke panitia penyelesaian perselisihan perburuhan
hanya dapata diajukan oleh serikat buruh atau oleh majikan.
4.
Untuk
perselisihan kepentingan hanya dapat diajukan kepanitia penyelesaian
perselisihan perburuhan.
5.
Hanya serikat buruh
atau majikan atau perkumpulan majikan yang dapat mengajukan perkara
perselisihan kepentingan ke panitia penyelesaian perselisihan perburuhan.
1) Penyelesaian sukarela
Berdasarkan pasal 3 juncto pasal 19 mengenai majikan
dan serikat buruh yang terlibat perselisihan perburuhan dapat diperoleh
beberapa kesimpulan, yaitu:
a.
Berdasarkan
kesepakatan antara majikan dengan serikat buruh, mereka dapat menyerahkan
perselisihan mereka kepada juru pemisah
atau dewan pemisah untuk diselesaikan dengan arbitrase (perwasitan) atau
voluntary arbitration.
b.
Menyerahkan
perselisihan tersebut kepada pegawai perburuhan dengan maksud supaya pegawai
perburuhan tersebut memberikan perantaraan untuk menyelsaikan perselishan
perburuhan tersebut.
2) Pemyelesaian wajib
Setiap timbul perselisihan perburhan hanya tiga
kemungkinan penyelesaian yaitu: (a) perundingan, (b) menyerahkan kepada juru
pemisah atau dewan pemisah (c) menyerahkan kepada pegawai perburuhan untuk
menjadi perantara. Penyerahan kepada pegawai perburuhan bersifat wajib, artinay
apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, dan para pihak tidak
bermaksud menyerahkan perslisihan mereka kepada juru pemisah, mereka harus
menyerahkan kepad pegawai perburuhan untuk menjadi perantara penyelesaian
perselisihan itu.
C.
Pemogokan (Strike)
1. Pengertian
Menurut pasal 1 huruf a penetapan presidenn No 7
Tahun 1963 yang dimaksud dengan pemogokan adalah dengan sengaja melalaikan atau
menolak melakukan pekerjaan, meskipun diperintah dengan sah enggan melakukan
atau lambat menjalankan pekerjaan yang harus dilakukan karena perjanjian, baik
lisan maupun tulisan atau yang harus dijalankan karena jabatan.
2. Pemogokan menurut hukum positif di Indonesia
Pemogokan merupakan jalan terakhir bagi penyelesaian
perselishan perburuhan, apabila semua jalan damai, yakni musyawarah menemui
jalan buntu. Menurut hukum positif di Indonesia, hak mogok diakui (Kepres No 27
tahun 1990). Namun demikian penggunaan hak mogok tersebut harus melalui
prosedur sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 huruf (d) juncto pasla 6 ayat 1
UU No 22 tahun 1957. Pemogokan sendiri sebagai suatu perbuatan tidak dapat dipidana.
3. Faktor – faktor penyebab pemogokan
Tuntutan normatif adalah tuntutan yang didasarkan pada kententuan-ketentuan
yang terdapat dalam perundang-undangan sebagai akibat pihak majikan (pengusaha)
tidak memenuhi kewajiban yang diletakkan oleh peratutan perundang-undangan
tersebut. Tuntutan tidak normatif adalah tuntutan yang tidak didasarkan pada ketenetuan yang
terdapat dalam perundang-undangan.
Faktor-faktor penyebab terjadinya pemogokan
diantaranya :
a.
Gagalnya
peundingan antara majikan dengan buruh mengenai hal-hal yang diperselisihkan.
b.
Kewenang-wenangan
buruh terhadpa majikan.
c.
Kesemrawutan
manajemen yang menyebabkan buruh cenderung dijadikan objek.
d.
Pelanggaran hak-hak
buruh oleh majikan.
D.
Penutupan (Lock
Out)
Kalau pemogokan
merupakan perbuatan buruh untuk tidak melakukan pekerjaan atau lambat melakukan
pekerjaan, maka penutupan merupakan perbuatan majikan untuk merintangi
dilakukanya pekerjaan oleh buruh. Pasal 1 uruf (b) Penpres No 7 Tahun 1963
memberikan batasan penutupan (lock out) sebagai berikut : denga sengaja
bertentangan dengan perjanjian, baik tertulis maupun lisan, merintangi
dijalankannya pekerjaan itu.
BAB V
KESEHATAN KERJA
A. Istilah
Peraturan kesehatan kerja adalah aturan-aturan dan
usaha-usaha untuk menjaga buruh dari kejadian atau keadaan perburuhan yang
merugikaN atau dapat merugikan kesehatan dan kesesuaian dalam seseorang itu
melakukan atau karena itu melakukan pekerjaan dalam suatu hubungan kerja.
Kesehatn kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta
prakteknya yang bertujuan gar pekerja/masyarakat pekerja memperoleh derajat
kesehatan setinggi-tingginya, baik fisik atau mental, social dengan usaha
preventif dan kuratif, tehadap penyakit/gangguan-gangguan kesehatan yang
diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit-penyakit
umum.
B. Peraturan kesehatan kerja
Peraturan kesehatan kerja hamper semua Negara selalu
bermateri mengenai : pekerjaan anak, pekerjaan orang muda, pekerjaan orang
wanita, waktu kerja, waktu istirahat, tempat kerja.
C. Pekerjaan Anak
Anak adalah orang laki-laki maupun perempuan yang
berumur 14 tahun kebawah pasal 1 huruf (d) UU No 12 Tahun 1948. Pekerjaan anak
adlaah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh untuk majikan dalam suatu hubungan kerja dengan menerima upah.
Larangan pekerjaan terhadap anak karena terdapat beberapa kerugian dan dampak
negatif diantaranya:
1.
Menghambat atau
memperburuk pekermbangan jasmani maupun rohani anak.
2.
Menghambat
kesempatan belajar bagi anak.
3.
Dalam jangka
panjang perusahaan akan menderita beberapa kerugian apabila memperkerjakan
anak.
D. Pekerjaan orang muda
Orang muda adalah orang laki-laki atau perempuan
yang berumur diatas 14 tahun, akan tetapi dibawah 18 tahun (pasal 1 ayat 1
huruf c UU No 12 Tahun 1948). Larangan pekerjaan bagi anak muda menurut
Undang-undang ini adalah:
1.
Menjalankan
pekerjaan pada malam hari terkecuali tidak dapat dihindarkan karena berkaitan
dengan kepentingan umum atau kesejahteraan umu.
2.
Menjalankan
pekerjaan didalam tambang, lobang didalam tanah atau tempat menganbil logam dan
bahan lain dari bawah tanah (pasal 5 ayat 1)
3.
Menjalankan
pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatannya (pasal 6 ayat 1).
E. Pekerjaan orang wanita
Wanita adalah orang wanita dewasa, berarti seorang
wanita yang telah berumur 18 tahun atau lebih. Untuk orang wanita prinsip yang
dianut sama dengan prinsip untuk orang muda, yakni pada umumnya diperbolehkan
menjalankan pekerjaan, tetapi diadakan pembatan. Untuk orang wanita tidak ada
larangan mutlak menjalankan pekerjaan. Larangan mencakup (1) tidak boleh menjalanakna
pekerjaan pada malam hari, kecuali pekerjaan itu menurut sifat, tempat dan
keadaan seharusnya dijalankan oleh wanita (pasal 7 ayat 1 UU No 12 tahun 1948)
(2) bekerja didalam tambang, lobang tanah atau tempat lain untuk mengambil
logam dan bahan dalam tanah (pasal 8 ayat 1) (3). Menjalankan pekerjaan yang
berbahaya bagi kesehatan atau keselamatannya.
F. Waktu kerja
1.
Pengertian waktu
kerja
Yaitu jangka waktu
antara saat yang bersangkutan harus ada untuk memulai pekerjaannya dan saat ia
dapat meninggalkan pekerjaanya untuk menikmati waktu istirahat antar permulaan
dan akhir waktu kerja.
2.
Pembatasan waktu
kerja
Pasal 10 ayat 1 UU no
12 Tahun 1948 menyebutkan bahwa buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih
dari 7 jam sehari dan 40 jam seminngu. Semua ketentuan yang ada sebelum
berlakunya UU No 12 Tahun 1948 yang d idalamnya terdapat ketentuan mengenai
waktu kerja yang melebihi 7 jam sehari dan 40 jam seminggu telah dinyatakan
tidak berlaku oleh PP No 4 Tahun 19551.
3.
Penyimpangan
waktu kerja
Dalam keadaan tertentu
seorang majikan diperkenankan memperkerjakan buruh lebih dari 7 jam sehari dan
40 jam seminggu (pasal 12 ayat 1 UU No 12 Tahun 1948) dengan izin kepala jawata
pengawasan perburuhan atau yang ditunjuk olehnya. (PP No 13 Tahun 1950).
4.
Waktu istirahat
Pasal 10 ayat 2 UU no
12 Thaun 1948 mengatur tentang waktu istirahat yang harus diberikan kepad buruh
setelah ia bekerja 4 jam terus menrus.
a.
Waktu istirahat
Setelah buruh
menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menrus harus diadakan waktu istirahat
sekurang-kurang setengah jam lamanya (pasal 10 ayat 2)
b.
Istirahat
mingguan
Tiap minggu harus
diadkan sekurang-kurangnya 1 hari istirahat (pasal 10 ayat 3) dinyatakan
berlaku dengan PP No 13 Tahun 1950.
c.
Hari libur
Buruh tidak boleh
menjalannkan pekerjaan pada hari raya yang resmi telah di tetapkan dalam
peraturan pemerintah, kecuali jika pekerjaan itu sifatnya harus dijalankan
terus pada hari raya.
d.
Istirahat
tahunan
Buruh berhak atas
istirahat tahunan sekurang-kurangnya 2 minggu tiap kali setelah ia ,mempunyai
masa kerja 12 bulan berturut –turut pada satu majikan atau beberapa majikan
dari satu organisasi majikan (pasal 2 PP No.21 Tahun 1953)
e.
Istirahat panjang
Buruh yang telah
bekerja selama 6 tahun berturut-turut pada suatu atau beberapa majikan yang
tergabung dalam sat u organisasi, mempunyai hak istirahat selama 3 bulan
lamanya (pasal 12 ayat 2 UU No 12 Thaun 1948)
f.
Istirahat haid
dan hamil
Buruh wanita tidak
boleh diwajibkan bekrja pada hari pertama dan kedua waktu haid (pasal 13 ayat
1) dan wanita harus diberi waktu istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya
menurut perhitungan akan melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan anak
atau gugur kandunganya (pasal 13 ayat 2)
G. Tempat kerja
Menurut pasal 1 ayat 1 peraturan menteri perburuhan,
tempat kerja adalah setiap tempat kerja, terbuka atau tertutup, yang lazimnya
digunakan atau dapat diduga akan digunakan untuk melakukan pekerjaan baik tetap
mauoun sementara.
BAB VI
KEMANAN / KESELAMATAN KERJA
Keselamatan
kerja adalah keselamatan yang berkaitan dengan mesin, pesawat alat kerja, bahan
dan proses pengelolaannya, landasan tempat
kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan. Sasaran
keselmatan kerja adalah segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah,
dipermukaan air, mauoun di udara. Tempat-tempat kerj ayang demikian itu
tersebar pada segenapa kegiatan ekonomi, seperti pertanian, industry,
pertambangan, perhubungan pekerjaan umum, jasa dan lain-lain.
Tujuan
peraturan keselamatan kerja adalah :
1. Melindingu buruh dari resiko kecelakaan pada saat ia
m,elakukan pekerjaan.
2. Menjaga supaya orang-orang yang berada di sekitar
tempat kerja terjamin keselamatannya.
3. Menjaga supaya sumber produksi dipelihara dan
dipergunakan secara aman dan berdaya guna.
BAB VII
JAMINAN SOSIAL TENAGAKERJA
A.
PENGERTIAN
Asuransi tenaga kerja
(ASTEK ) merupakan salah satu bentuk perwujudan jaminan social adalah system
perlindungan yang dimaksudkan untuk menanggulangi resiko sosial yang secara
langsung mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya penghasilan tenaga kerja.
Menurut UU No 3 Tahun 1992 JAMSOSTEK adalah suatu perlindungan bagi tenaga
kerja dalam bentuk santuna berupa uang
sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan
pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaanyang dialami oleh tennaga kerja
berupa kecelakaan kerja, hamil, sakit, bersalin, hari tua, meninggal dunia
(pasal 1 angka 1).
B.
PENYELENGGARAN
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
Penyelenggaran jaminan
sosial tenaga kerja d ibagi menjadi dua, yaitu (1) untuk tenaga kerja yang bekerja
dalam hubungan kerja tenaga kerja (buruh) dan (2) untuk tenaga kerja yang
bekerja diluar hubungan kerja ( tenaga kerja ,disini berarti “pekerja”). Pasal
4 ayat 1 menegaskan bahwa program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 3 wajib dilakukan
oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam
hubungan kerja sesuai dengan ketentuan UU ini.