Selasa, 22 November 2011

PKLH



Esensi PKLH (Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup)

Kemerosotan kualitas lingkungan kehidupan di bumi berlangsung terus sampai hari ini. Eksploitasi sumber daya dilakukan secara semena-mena tanpa etika lingkungan. Menurut Worls Resources Institute, Indonesia kehilangan 72% hutan alam yang areal hutannya menurun rata-rata 3,4 juta hektar pertahun. Kawasan hutan di Indonesia menurun dratis dari 144 juta hektar (tahun 1950) menjadi hanya sekitar 92,4 juta hektar (1999). Tanah, air, udara tercemar baik oleh limbah industri maupun oleh limbah domestik yang berasal dari rumah hunian. Konon, sekitar 5 juta orang terserang muntaber dan sekitar 120 juta orang (60% penduduk) menderita cacingan akibat cemaran dari tinja. Kebijakan pelaksanaan pembangunan yang semula dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat ternyata hanya dapat mensejahterakan sekelompok kecil masyarakat. Ironisnya, kegiatan pembangunan ini justru lebih banyak menurunkan kualitas hidup masyarakat akibat penurunan kualitas lingkungan. Atas pertimbangan inilah, badan internasional PBB dalam laporannya “our common future” mendeklarasikan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang berdimensi moral. Permasalahannya, bagaimana merubah keyakinan, sikap, dan perilaku tiap individu dari “tidak ramah lingkungan” menjadi “ramah lingkungan”?
PKLH adalah suatu program kependudukan untuk membina anak didik memiliki pengetahuan, kesadaran, sikap, dan perilaku yang rasional serta bertanggung jawab tentang pengaruh timbal balik antara penduduk dengan lingkungan hidup dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Pengenalan program Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) yang di Indonesia sudah dirintis sejak tahun 1981 yaitu ditandai dengan dibukanya jurusan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup, pada Pasca Sarjana, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta. Yang sekaligus merupakan bentuk respon sektor pendidikan terhadap deklarasi PBB ini sehingga semua insan pembangunan sebagai lulusan sekolah memiliki etika lingkungan. Implementasi program PKLH di sekolah (SD, SLTP, SMU) secara implisit sudah diperkenalkan melalui kurikulum 1984. Setelah sekitar 15 tahun diperkenalkan di sekolah, hasil yang dicapai belum menggembirakan. Realita sehari-hari menunjukkan hampir semua lulusan sekolah belum menampilkan kinerja “ramah lingkungan”. Secara hipotetik dapat dikatakan, program PKLH jalur sekolah “belum jalan”. Dengan logika ini, perlu dilakukan ‘pembenahan’ pada ‘tubuh’ PKLH jalur sekolah. Setelah itu, perlu dirancang dan dibuat kemasan baru program PKLH, baik dari ‘kemasan konsepsi’ maupun dari ‘kemasan implementasi’.
Pembahasan kebijakan baru tentang PKLH ini perlu diawali dengan mengkaji hakekat kurikulum dan hakekat PKLH serta hakekat lingkungan hidup. Dari kajian ini baru dirumuskan tentang suplemen kurikulum PKLH sebagai kebijakan baru penyelenggaraan PKLH di sekolah. Selain itu, makna pengembangan kurkulum perlu dikaji sebelum mengkaji pengembangan kurikulum PKLH.
Pada awalnya, Pendidikan Kependudukan terpisah dengan Pendidikan Lingkungan. Namun, karena banyak memiliki kesamaan terutama memiliki sasaran yang sama yaitu untuk meningkatkan kualitas kehidupan umat manusia dengan pendekatan yang sama yaitu: multi disiplin, maka Pendidikan Kependudukan dan Pendidikan Lingkungan digabungkan menjadi PKLH.
Dari lokakrya UNESCO Bangkok tentang kependudukan dan lingkungan pada tahun 1970 disepakati batasan pendidikan kependudukan sebagai ‘suatu program kependidikan yang menyediakan kajian tentang situasi kependudukan dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan dunia, dengan maksud untuk mengembangkan sikap dan perilaku yang rasional dan bertanggung jawab terhadap situasi kependudukan yang dihadapi.
Sedangkan Otto Soemarwoto (1997) mendefinisikan lingkungan hidup sebagai ruang yang ditempati suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan benda tak hidup. Sementara itu, menurut Nothern Illionis University, pendidikan lingkungan hidup adalah proses mereorganisasi nilai dan memperjelas konsep-konsep untuk membina keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk memahami dan menghargai antarhubungan manusia, kebudayaan, dan lingkungan fisiknya. Dari batasan ini tersirat makna bahwa sasaran PKLH berdimensi tidak hanya pemahaman (kognitif) manfaat perlunya keseimbangan/keselarasan hubungan antara manusia, hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup yang ada di bumi, tetapi juga menyentuh dan malah lebih penting yaitu dengan peningkatan sikap dan nilai positif terhadap permasalahan kependudukan dan lingkungan, sehingga mendorong peserta didik melakukan beberapa aksi dalam bentuk perbuatan langsung.
Peluang Penyajian Pendidikan Lingkungan Hidup Program PKLH di SD, SLTP, dan SMU tidak disajikan sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri. Beberapa pertimbangan yang melandasi pemikiran ini antara lain:
• Jumlah mata pelajaran yang ada di SD, SLTP, dan SMU sudah terlalu banyak sehingga kalau jumlahnya ditambah akan mempengaruhi beban belajar siswa. Kalau ini dipaksakan, tentu akan mengganggu perkembangan kognitif dan apresiasi siswa terhadap pelajaran.
• Pada dasarnya beberapa mata pelajaran yang ada sudah memiliki muatan PKLH terutama mata pelajaran yang berorientasi pada sasaran moral seperti mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan mata pelajaran Pendidikan Agama. Kedua mata pelajaran ini dapat dimuati dengan unsur pendidikan lingkungan hidup yang berdimensi moral dan nilai. Beberapa mata pelajaran lain yang erat kaitannya dengan Pendidikan Lingkungan Hidup adalah kelompok mata pelajaran IPA: Fisika, Biologi, Kimia, juga kelompok mata pelajaran IPS: Geografi, Ekonomi, dan Sosiologi, juga mata pelajaran Bahasa Indonesia.
• Sasaran PKLH adalah kinerja lulusan yang peduli terhadap lingkungan dan yang senantiasa menjaga keseimbangan/keselarasan hubungan mahluk hidup dan lingkungannya. Ini berarti, selama sasaran ini dapat diwujudkan memang tidak perlu mengenalkan mata pelajaran baru yang akan menambah beban pelajaran bagi peserta didik, yang mungkin akan menjadi kontra produktif pada sasaran pendidikan.
• Pendekatan PKLH lebih cocok dengan pendekatan multi-disiplin dengan memanfaatkan beberapa konsep dari beberapa mata pelajaran.
• Perubahan kurikulum dengan menambah mata pelajaran baru akan memberi dampak pada semua komponen pendidikan, yang akhirnya dapat dipolitisir oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan pribadi/kelompok tertentu dan sebaliknya dapat merugikan dunia pendidikan.
Dengan alasan ini dan dengan tetap mengikuti konstelasi kurikulum yang sedang berlaku, rasanya sekarang belum waktunya untuk mengenalkan mata pelajaran PKLH secara terpisah. Karakteristik lulusan yang berperilaku dengan wawasan lingkungan dapat dibentuk melalui pemberdayaan mata pelajaran yang sudah ada.
Tapi sebagai pemerhati dan pendekar lingkungan tidak dengan begitu saja kita pasrah dengan sistem kurikulum yang berlaku, tetapi bagaimana berusaha untuk mengintegrasikan program dan materi-materi yang berkenaan dengan PKLH pada mata pelajaran yang diakui dalam kurikulum yang berlaku, pengintegrasian ini harus diusahakan mulai dari jenjang pendidikan yang paling rendah hingga jenjang pendidikan tertinggi supaya tertanam dalam diri masing-masing peserta didik setelah mempelajari PKLH yaitu mempunyai pengertian, kesadaran, sikap dan perilaku yang rasional terhadap hubungan manusia dengan lingkungan hidup.
Dalam lingkungan sekolah diperlukan kreatifikas seorang guru untuk mengembangkan sikap peduli siswa terhadap lingkungan dengan tidak membuang limbah domestik secara sembarangan, guru perlu memberikan contoh, misalnya, selalu memegang kulit pisang/kulit rambutan sebelum menemukan tempat sampah. Guru perlu menyediakan lingkungan yang kondusif seperti menyediakan tempat sampah, tempat cuci tangan, kamoceng di kelas/sekolah. Selain itu, setiap kegiatan pembelajaran selalu diselipkan kegiatan yang mengkondisikan siswa untuk membuang sampah pada tempatnya, atau melatih siswa untuk memilah sampah organik dengan sampah non organik dan selanjutnya sampah non organik dimasukkan pada tempat khusus yang sudah disediakan.
Guru dapat juga berdiskusi dengan guru lain untuk merencanakan kegiatan proyek dengan melibatkan beberapa guru mata pelajaran untuk menyoroti satu tema khusus. Misalnya, tema pencemaran air tanah dapat diangkat untuk kegiatan pembelajaran program satu semester beberapa mata pelajaran. Guru IPA (Kimia) dapat menyoroti unsur kimia yang sudah mencemari air tanah sedangkan guru Geografi dapat menyajikan unsur pencemaran dengan menampilkannya dalam beragam grafik.
Guru PPKn di SLTP mungkin dapat menyajikan kegiatan diskusi studi kasus dengan simulasi di suatu wilayah kecamatan yang air tanahnya tercemar oleh limbah industri perusahaan tekstil. Beberapa lurah mengusulkan untuk menutup perusahaan tersebut tetapi beberapa lurah yang lain mengusulkan untuk tetap mempertahankan perusahaan itu karena perusahaan itu sering memberikan sumbangan untuk kegiatan umum. Ada juga beberapa lurah yang mengusulkan perusahaan itu dipindahkan supaya air tanah tidak tercemar. Kasus ini mungkin kasus rekaan yang mungkin terjadi di masyarakat. Kegiatan diskusi kasus ini akan lebih baik kalau guru dapat mengangkat kasus riil pencemaran yang terjadi di daerahnya.
Pada kondisi ini peserta didik diberi beragam pengalaman belajar seperti diskusi kelas, diskusi kasus dalam situasi simulasi, melakukan percobaan, wawancara, melakukan kegiatan sosial untuk membersihkan lingkungan. Dari kegiatan-kegiatan inilah akan melahirkan pendekar-pendekar lingkungan hidup yang selalu berusaha melestarikan lingkungan sekitarnya.
Dari kajian tentang Esensi pengenalan dan/atau pemberdayaan program PKLH di jenjang pendidikan dasar dan menengah hingga perguruan tinggi yang kajiannya diawali dengan terjadinya kerusakan lingkungan dari waktu ke waktu akibat ulah manusia termasuk meningkatnya angka pertumbuhan penduduk, lalu dilanjutkan dengan perlunya program PKLH baik melalui pendidikan formal maupun melalui pendidikan informal, dan pada bagian akhir dilanjutkan dengan cara mengemaskan kegiatan pembelajaran program PKLH yang multi-dimensi: kognitif, sikap, perilaku, keterampilan di jalur pendidikan sekolah.
Salah satu gebrakan baru yang dilakukan oleh PEMERINTAH Kota Bandung, dalam hal ini Dinas Pendidikan Kota Bandung, yang telah berketetapan untuk menjadikan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) sebagai muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah di Kota Bandung. Berbagai pendapat pun lantas merebak, seperti biasa, yaitu ada yang pro dan kontra. Terlepas dari pro-kontra itu, seberapa pentingkah PLH bagi murid khususnya yang tinggal di Kota Bandung ? (Gede H. Cahyana : http://gedehace.blogspot.com)
Terlepas apakah PKLH tidak harus dimasukkan dalam kurikulum atau harus dimasukkan dalam kurikulum misalnya seperti yang dilakukan oleh pemerintah Bandung yang menjadikan PLH sebagai muatan lokal, tapi yang terpenting adalah penekanan taraf signifikansi PKLH yaitu pada porsi praktis-teoretisnya. Pelaksanaan PKLH ini hendaklah tidak berkutat di ranah teoretis. Jika hanya teoretis, hasilnya takkan terasa dan seolah-olah murid-murid berbilang ilmu lingkungan, tetapi perilakunya tak berubah. Jangan sampai PKLH ini sekadar penambah beban belajar siswa. Apalagi ada banyak pendapat kontra bahwa tak perlulah PKLH lantaran murid sudah dianggap memperolehnya dari pelajaran yang lain.
Tak dapat dipungkiri bahwa ada pelajaran yang membahas secara implisit soal lingkungan. Tetapi patut pula diakui bahwa kupasannya tidak menyentuh unsur utama lingkungan, yaitu pelestarian fungsi atau sustainability dan cederung menjadi lekatan dan tempelan belaka. Efeknya tidak tampak pada perubahan perilaku guru-gurunya apalagi murid-muridnya.
Oleh sebab itu, PKLH harus dititikberatkan pada sisi afektif – psikomotorik sehingga siswa tak hanya memiliki ilmu tetapi juga mampu mengubah perilakunya. Mampu “melebur” dengan lingkungannya. Misalnya, siswa melihat bagaimana proses polusi air dan apa dampaknya bagi kesehatan, lalu tahu cara mencegah dan mengolah polusi itu menjadi air yang tak tercemar. Ketika melihat sampah, yang ada di dalam benaknya ialah sumber daya baru yang bahkan mampu menghasilkan uang. Air limbah pun dijadikan potensi pupuk buatan atau didaur ulang menjadi air minum lagi. Pendeknya, PKLH harus mendekatkan guru dan muridnya kepada lingkungan dan menjadi bagian dari solusi, bukan sang penimbul masalah.
Materi PKLH itu pun hendaklah dibatasi agar tak terlalu meluas sehingga menjadi persoalan biologi dan mengaburkan masalah lingkungan yang erat dengan kehidupan sehari-hari. Sebab, telah dipahami bersama bahwa lingkungan itu sangat luas dan semua orang bisa bicara soal lingkungan sesuai dengan persepsi dan latar belakang ilmunya. Kalau tidak dibatasi atau tidak didefinisikan sejak awal, wacana ini akan meluas dan di luar kendali sehingga tujuan PKLH menjadi tidak fokus atau bahkan difus (menyimpang jauh) sehingga tidak praktis dan tidak aplikatif.
Makanya definisi atau “pagar-pagar”-nya harus sudah dibuat terlebih dulu agar PKLH berhasil menjadi pendidikan lingkungan yang erat dengan kehidupan praktis keseharian guru dan murid. Misalnya berkaitan dengan air minum, air limbah, sampah, polusi udara, kesehatan, penyakit menular lewat air, udara, makanan, tanah, dll. Juga upaya sanitasi dan kesehatan lingkungan yang wajib diketahui pada tingkat dasar dan tindakan preventif-kuratif apa saja yang mesti diambil dalam suatu kasus penyakit tertentu misalnya. Inilah PKLH yang implementatif dan berpeluang membentuk perilaku guru dan murid yang berkarib dengan lingkungan, environmentaly friendly, sehingga tak sekadar berwawasan lingkungan.
PKLH ini hendaklah dilaksanakan secara bergradasi, mulai dari kelas satu SD sampai kelas tiga SMA. Tentu saja harus ada perluasan materi yang diberikan meskipun pokoknya tetap sama. Misalnya, bahasan tentang air. Di kelas satu dan dua yang perlu diberikan hanya sebatas beda air jernih, air bersih, dan air limbah atau air kotor. Di kelas yang lebih tinggi, mulai dikenalkan pada parameter kualitasnya secara sambil lalu. Di kelas yang lebih tinggi lagi bisa dikenalkan pada teknologi tradisional-konvensional, selanjutnya masuk ke teknologi madya hingga ke teknologi lanjut. Begitu pun yang berkaitan dengan sampah, udara, kesehatan lingkungan, dll.
Yang juga penting adalah rasio waktu belajarnya. Belajar tak hanya di kelas, tetapi juga di lapangan. Misalnya, pergi ke sungai, ke kolam, ke waduk, atau ke tanah lapang sambil melihat-lihat selokan. Siswa langsung melaksanakan pengamatan lapangan. Mereka pasti senang bereksperimen dan mengeksplorasi kemampuan dirinya di alam bebas. Itu sebabnya, pembagian 30% teori dan 70% praktik menjadi jalan tengah. Guru dan murid akan lebih banyak belajar di luar kelas dan berdiskusi. Guru harus betul-betul siap pada semua kemungkinan pertanyaan yang muncul dan jangan marah apabila belum bisa memberikan penjelasan yang logis dan berterima. Artinya, guru harus terus belajar dan belajar terus.
Bagaimana hasilnya? Tentu saja tak bisa instan. Hasilnya baru akan tampak setelah sekian tahun kemudian dan ini membutuhkan proses, butuh waktu untuk pembentukan perilakunya, yaitu perilaku manusia cinta lingkungan, manusia yang peduli pada pembangunan berkawan lingkungan. Istilah umumnya adalah pembangunan berwawasan lingkungan (sustainable development). (Source : K’ Masni, Mahasiswa Pasca Sarjana PKLH UNM Makassar | Guru Biologi SMAN 1 Bone-Bone Kab. Luwu Utara, Sulsel)