Selasa, 22 November 2011

Hukum Ketenagakerjaan




PERSELIHAN PERBURUHAN
A.    Pengertian
Secara umum setiap perselisihan atau ketidaksesuaian antara majikan dengan buruh mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja atau keadaan perburuhan merupakan perselihan perburuhan. Singkatnya perselihan perburuhan dapat merupakan perselisihan perburuhan perseorangan maupun kolektif. Menurut UU No 12 tahun 1957, perselihan perburuhan adlaah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan (pasal 1 ayat 1 huruf c)
Dalam kepustakaan perselisihan perburuhan dibedakan menjadi dua yaitu: (1) perselihan hak atau rechtsgechillen yaitu perselihan yang timbul karena salah satu pihak dala perjanjian kerja atau perjanjian perburuhan tidak memenuhi isi perjanjian, peraturan majikan atau undang-ubdang. (2) perselihan kepentigan atau belangengeschillen pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh karenan tidak adanya persesuaian paham mengenai syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan.

B.     Penyelesaian Perselihan Perburuhan
Berdasarkan pada Pasal 50 UU No 2 tahun 1980 dan  UU darurat No 1 Tahun 1951, UU No 22 tahun 1957 dapat disimpulkan :
1.      Untuk perselisihan hak ada dua lembaga yang berwenang mneyelesaikannya yaitu peradilan umum dan panitia penyelsaian perselisihan perburuhan.
2.      Untuk perselisihan hak  yang diajukan ke peradilan umum dapat diajukan oleh buruh perseorangan maupun oleh serikat buruh  atau oleh majikan.
3.      Untuk perselisihan hak yang diajukan ke panitia penyelesaian perselisihan perburuhan hanya dapata diajukan oleh serikat buruh atau oleh majikan.
4.      Untuk perselisihan kepentingan hanya dapat diajukan kepanitia penyelesaian perselisihan perburuhan.
5.      Hanya serikat buruh atau majikan atau perkumpulan majikan yang dapat mengajukan perkara perselisihan kepentingan ke panitia penyelesaian perselisihan perburuhan.
1)      Penyelesaian sukarela
Berdasarkan pasal 3 juncto pasal 19 mengenai majikan dan serikat buruh yang terlibat perselisihan perburuhan dapat diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu:
a.       Berdasarkan kesepakatan antara majikan dengan serikat buruh, mereka dapat menyerahkan perselisihan mereka kepada juru pemisah  atau dewan pemisah untuk diselesaikan dengan arbitrase (perwasitan) atau voluntary arbitration.
b.      Menyerahkan perselisihan tersebut kepada pegawai perburuhan dengan maksud supaya pegawai perburuhan tersebut memberikan perantaraan untuk menyelsaikan perselishan perburuhan tersebut.
2)      Pemyelesaian wajib
Setiap timbul perselisihan perburhan hanya tiga kemungkinan penyelesaian yaitu: (a) perundingan, (b) menyerahkan kepada juru pemisah atau dewan pemisah (c) menyerahkan kepada pegawai perburuhan untuk menjadi perantara. Penyerahan kepada pegawai perburuhan bersifat wajib, artinay apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, dan para pihak tidak bermaksud menyerahkan perslisihan mereka kepada juru pemisah, mereka harus menyerahkan kepad pegawai perburuhan untuk menjadi perantara penyelesaian perselisihan itu.

C.     Pemogokan (Strike)
1.      Pengertian
Menurut pasal 1 huruf a penetapan presidenn No 7 Tahun 1963 yang dimaksud dengan pemogokan adalah dengan sengaja melalaikan atau menolak melakukan pekerjaan, meskipun diperintah dengan sah enggan melakukan atau lambat menjalankan pekerjaan yang harus dilakukan karena perjanjian, baik lisan maupun tulisan atau yang harus dijalankan karena jabatan.
2.      Pemogokan menurut hukum positif  di Indonesia
Pemogokan merupakan jalan terakhir bagi penyelesaian perselishan perburuhan, apabila semua jalan damai, yakni musyawarah menemui jalan buntu. Menurut hukum positif di Indonesia, hak mogok diakui (Kepres No 27 tahun 1990). Namun demikian penggunaan hak mogok tersebut harus melalui prosedur sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 huruf (d) juncto pasla 6 ayat 1 UU No 22 tahun 1957. Pemogokan sendiri sebagai suatu perbuatan tidak dapat  dipidana.
3.      Faktor – faktor penyebab pemogokan
Tuntutan normatif adalah tuntutan  yang didasarkan pada kententuan-ketentuan yang terdapat dalam perundang-undangan sebagai akibat pihak majikan (pengusaha) tidak memenuhi kewajiban yang diletakkan oleh peratutan perundang-undangan tersebut. Tuntutan tidak normatif adalah tuntutan yang  tidak didasarkan pada ketenetuan yang terdapat dalam perundang-undangan.
Faktor-faktor penyebab terjadinya pemogokan diantaranya :
a.       Gagalnya peundingan antara majikan dengan buruh mengenai hal-hal yang diperselisihkan.
b.      Kewenang-wenangan buruh terhadpa majikan.
c.       Kesemrawutan manajemen yang menyebabkan buruh cenderung dijadikan  objek.
d.      Pelanggaran hak-hak buruh oleh majikan.

D.    Penutupan (Lock Out)
Kalau pemogokan merupakan perbuatan buruh untuk tidak melakukan pekerjaan atau lambat melakukan pekerjaan, maka penutupan merupakan perbuatan majikan untuk merintangi dilakukanya pekerjaan oleh buruh. Pasal 1 uruf (b) Penpres No 7 Tahun 1963 memberikan batasan penutupan (lock out) sebagai berikut : denga sengaja bertentangan dengan perjanjian, baik tertulis maupun lisan, merintangi dijalankannya pekerjaan itu.



BAB V
KESEHATAN KERJA

A.    Istilah
Peraturan kesehatan kerja adalah aturan-aturan dan usaha-usaha untuk menjaga buruh dari kejadian atau keadaan perburuhan yang merugikaN atau dapat merugikan kesehatan dan kesesuaian dalam seseorang itu melakukan atau karena itu melakukan pekerjaan dalam suatu hubungan kerja. Kesehatn kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan gar pekerja/masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik fisik atau mental, social dengan usaha preventif dan kuratif, tehadap penyakit/gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit-penyakit umum.

B.     Peraturan kesehatan kerja
Peraturan kesehatan kerja hamper semua Negara selalu bermateri mengenai : pekerjaan anak, pekerjaan orang muda, pekerjaan orang wanita, waktu kerja, waktu istirahat, tempat kerja.

C.     Pekerjaan Anak
Anak adalah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 14 tahun kebawah pasal 1 huruf (d) UU No 12 Tahun 1948. Pekerjaan anak adlaah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh untuk majikan dalam   suatu hubungan kerja dengan menerima upah. Larangan pekerjaan terhadap anak karena terdapat beberapa kerugian dan dampak negatif  diantaranya:
1.      Menghambat atau memperburuk pekermbangan jasmani maupun rohani anak.
2.      Menghambat kesempatan belajar bagi anak.
3.      Dalam jangka panjang perusahaan akan menderita beberapa kerugian apabila memperkerjakan anak.

D.    Pekerjaan orang muda
Orang muda adalah orang laki-laki atau perempuan yang berumur diatas 14 tahun, akan tetapi dibawah 18 tahun (pasal 1 ayat 1 huruf c UU No 12 Tahun 1948). Larangan pekerjaan bagi anak muda menurut Undang-undang ini adalah:
1.      Menjalankan pekerjaan pada malam hari terkecuali tidak dapat dihindarkan karena berkaitan dengan kepentingan umum atau kesejahteraan umu.
2.      Menjalankan pekerjaan didalam tambang, lobang didalam tanah atau tempat menganbil logam dan bahan lain dari bawah tanah (pasal 5 ayat 1)
3.      Menjalankan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatannya (pasal 6 ayat 1).

E.     Pekerjaan orang wanita
Wanita adalah orang wanita dewasa, berarti seorang wanita yang telah berumur 18 tahun atau lebih. Untuk orang wanita prinsip yang dianut sama dengan prinsip untuk orang muda, yakni pada umumnya diperbolehkan menjalankan pekerjaan, tetapi diadakan pembatan. Untuk orang wanita tidak ada larangan mutlak menjalankan pekerjaan. Larangan mencakup (1) tidak boleh menjalanakna pekerjaan pada malam hari, kecuali pekerjaan itu menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh wanita (pasal 7 ayat 1 UU No 12 tahun 1948) (2) bekerja didalam tambang, lobang tanah atau tempat lain untuk mengambil logam dan bahan dalam tanah (pasal 8 ayat 1) (3). Menjalankan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatannya.

F.      Waktu kerja
1.      Pengertian waktu kerja
Yaitu jangka waktu antara saat yang bersangkutan harus ada untuk memulai pekerjaannya dan saat ia dapat meninggalkan pekerjaanya untuk menikmati waktu istirahat antar permulaan dan akhir waktu kerja.
2.      Pembatasan waktu kerja
Pasal 10 ayat 1 UU no 12 Tahun 1948 menyebutkan bahwa buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminngu. Semua ketentuan yang ada sebelum berlakunya UU No 12 Tahun 1948 yang d idalamnya terdapat ketentuan mengenai waktu kerja yang melebihi 7 jam sehari dan 40 jam seminggu telah dinyatakan tidak berlaku oleh PP No 4 Tahun 19551.
3.      Penyimpangan waktu kerja
Dalam keadaan tertentu seorang majikan diperkenankan memperkerjakan buruh lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu (pasal 12 ayat 1 UU No 12 Tahun 1948) dengan izin kepala jawata pengawasan perburuhan atau yang ditunjuk olehnya. (PP No 13 Tahun 1950).
4.      Waktu istirahat
Pasal 10 ayat 2 UU no 12 Thaun 1948 mengatur tentang waktu istirahat yang harus diberikan kepad buruh setelah ia bekerja 4 jam terus menrus.
a.       Waktu istirahat
Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menrus harus diadakan waktu istirahat sekurang-kurang setengah jam lamanya (pasal 10 ayat 2)
b.      Istirahat mingguan
Tiap minggu harus diadkan sekurang-kurangnya 1 hari istirahat (pasal 10 ayat 3) dinyatakan berlaku dengan PP No 13 Tahun 1950.
c.       Hari libur
Buruh tidak boleh menjalannkan pekerjaan pada hari raya yang resmi telah di tetapkan dalam peraturan pemerintah, kecuali jika pekerjaan itu sifatnya harus dijalankan terus pada hari raya.
d.      Istirahat tahunan
Buruh berhak atas istirahat tahunan sekurang-kurangnya 2 minggu tiap kali setelah ia ,mempunyai masa kerja 12 bulan berturut –turut pada satu majikan atau beberapa majikan dari satu organisasi majikan (pasal 2 PP No.21 Tahun 1953)
e.        Istirahat panjang
Buruh yang telah bekerja selama 6 tahun berturut-turut pada suatu atau beberapa majikan yang tergabung dalam sat u organisasi, mempunyai hak istirahat selama 3 bulan lamanya (pasal 12 ayat 2 UU No 12 Thaun 1948)
f.       Istirahat haid dan hamil
Buruh wanita tidak boleh diwajibkan bekrja pada hari pertama dan kedua waktu haid (pasal 13 ayat 1) dan wanita harus diberi waktu istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya menurut perhitungan akan melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan anak atau gugur kandunganya (pasal 13 ayat 2)
G.    Tempat kerja
Menurut pasal 1 ayat 1 peraturan menteri perburuhan, tempat kerja adalah setiap tempat kerja, terbuka atau tertutup, yang lazimnya digunakan atau dapat diduga akan digunakan untuk melakukan pekerjaan baik tetap mauoun sementara.





BAB VI
KEMANAN / KESELAMATAN KERJA

Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berkaitan dengan mesin, pesawat alat kerja, bahan dan proses pengelolaannya, landasan tempat  kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan. Sasaran keselmatan kerja adalah segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, dipermukaan air, mauoun di udara. Tempat-tempat kerj ayang demikian itu tersebar pada segenapa kegiatan ekonomi, seperti pertanian, industry, pertambangan, perhubungan pekerjaan umum, jasa dan lain-lain.
Tujuan peraturan keselamatan kerja adalah :
1.      Melindingu buruh dari resiko kecelakaan pada saat ia m,elakukan pekerjaan.
2.  Menjaga supaya orang-orang yang berada di sekitar tempat kerja  terjamin keselamatannya.
3.    Menjaga supaya sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan berdaya guna.


BAB VII
JAMINAN SOSIAL TENAGAKERJA
A.    PENGERTIAN
Asuransi tenaga kerja (ASTEK ) merupakan salah satu bentuk perwujudan jaminan social adalah system perlindungan yang dimaksudkan untuk menanggulangi resiko sosial yang secara langsung mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya penghasilan tenaga kerja. Menurut UU No 3 Tahun 1992 JAMSOSTEK adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santuna  berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaanyang dialami oleh tennaga kerja berupa kecelakaan kerja, hamil, sakit, bersalin, hari tua, meninggal dunia (pasal 1 angka 1).

B.     PENYELENGGARAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
Penyelenggaran jaminan sosial tenaga kerja d ibagi menjadi dua, yaitu (1) untuk tenaga kerja yang bekerja dalam hubungan kerja tenaga kerja (buruh) dan (2) untuk tenaga kerja yang bekerja diluar hubungan kerja ( tenaga kerja ,disini berarti “pekerja”). Pasal 4 ayat 1 menegaskan bahwa program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana  dimaksudkan dalam pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan UU ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave a comment