Rabu, 23 November 2011

Makalah Pewarisan Dalam Hukum Adat


BAB I
PENDAHULUAN

A . LATAR BELAKANG MASALAH
            Pengertian pewarisan menurut hukum perdata adalah perpindahan hak dan kewajiban dari seorang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang merupakan ahli warisnya. Berdasarkan pengertian diatas jelas bahwa pihak – pihak yang berhak menerima warisan atau yang disebut dengan ahli waris adalah pihak keluarga dari pihak yang meninggal dunia yaitu pewaris.   
Masalah warisan seringkali menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini sering kali muncul karena adanya salah satu ahli waris yang merasa tidak puas dengan pembagian warisan yang diterimanya. Hal ini timbul dari sifat serakah manusia yang berkeinginan untuk selalu mendapatkan yang lebih dari apa yang telah diperolehnya.
Untuk mendapatkan harta warisan sesuai dengan jumlah yang diinginkannya, para ahli waris menempuh segala cara yang dapat dilakukan guna mencapai tujuannya, baik melalui jalan hukum maupun dengan jalan melawan hukum. Jika perolehan harta warisan dilakukan dengan jalan melawan hukum, sudah tentu ada sanksi hukum yang menanti para pihak yang melakukan perbuatan itu. Akan tetapi jika perolehan harta warisan dilakukan dengan jalan sesuai dengan hukum, maka tidak akan ada sanksi hukum yang diberikan. Masalah yang timbul adalah apakah jalan hukum yang ditempuh tersebut memenuhi prinsip keadilan bagi semua pihak yang berperkara. Terutama di dalam masalah warisan, sering kali putusan yang adil bagi salah satu pihak belum tentu dianggap adil oleh pihak yang lain.
Hak opsi diperbolehkan dalam masalah pembagian warisan, sebab ada dua sistem hukum yang dapat dipilih oleh para pihak dalam menentukan pembagian warisan, yaitu hukum Islam dan hukum adat. Dua sistem hukum itu mempunyai perbedaan yang prinsip, oleh karena itu ada dua lembaga yang berwenang untuk memutus apabila terjadi sengketa waris. Untuk hukum Islam yang berwenang adalah Pengadilan Agama, sedang untuk hukum adat yang berwenang adalah Pengadilan Negeri.
Ketentuan pembagian warisan dari dua sistem hukum tersebut seringkali mempunyai perbedaan, maka terjadi pilihan hukum yang bisa digunakan sebagai dasar penyelesaian masalah pembagian warisan. Masalah hak opsi ini bisa menjadi masalah baru dalam pembagian harta warisan, sebab para pihak cenderung memilih hukum sesuai dengan kepentingannya sendiri, yaitu hukum yang bisa memberikan peluang untuk mendapatkan pembagian warisan yang lebih menguntungkan dirinya. Jika para pihak berpendapat dengan sadar, nilai-nilai hukum Eropa lebih adil, itulah yang akan diterapkan dalam menyelesaikan pembagian warisan. Jika hukum waris Islam yang dipandang lebih adil, undang-undang tidak melarang. Sepenuhnya terserah kepada mereka untuk menentukan pilihan. Hakim tidak berwenang untuk memaksakan pilihan hukum tertentu. Pemaksaan dari pihak hakim adalah tindakan yang melampui batas kewenangan dan dianggap bertentangan dengan “ketertiban umum” dan undang-undang. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan serta meminta agar pembagian dinyatakan batal dan tidak mengikat.
Persoalan pilihan hukum (hak opsi) itu timbul dalam kaitan dengan adanya peluang bagi masyarakat pencari keadilan yang ingin menyelesaikan perkara warisan. Peluang ini sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum dan Pasal 49 UU No. 7 Th. 1989, bisa menimbulkan dua akibat, yaitu berupa pada waktu yang sama para pihak dapat mengajukan gugatan atau bisa juga para pihak sepakat untuk memilih satu sistem hukum untuk menyelesaikan masalah warisannya.
Dalam pilihan hukum ini, tidak akan menjadi masalah jika semua pihak sepakat untuk memilih salah satu hukum yang akan dijadikan dasar dalam memecahkan masalah kewarisan, dan mereka juga mau menerima dengan sadar konsekuensi yang timbul dari pilihan hukum yang mereka lakukan. Akan tetapi akan menjadi masalah, bila masing-masing pihak memilih hukum yang berbeda-beda.
Berkaitan dengan masalah hak opsi di dalam pembagian warisan, di Pengadilan Agama Sleman ada sebuah kasus yang menarik tentang hak opsi, yaitu ada dua pihak yang bersengketa. Pihak yang pertama beragama Islam, sedangkan pihak yang kedua beragama Khatolik. Kedua orang ini adalah saudara kandung, pihak yang beragama Islam berjenis kelamin laki-laki, sedangkan pihak yang beragama Khatolik berjenis kelamin wanita.
Menurut agama yang dianut oleh masing-masing pihak, maka Pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan masalah warisan ada dua, yaitu bagi pihak yang beragama Islam adalah Pengadilan Agama, sedangkan bagi pihak yang beragama Khatolik adalah Pengadilan Negeri. Pihak yang beragama Islam ingin masalah warisannya diselesaikan oleh Pengadilan Agama, yang berarti menggunakan dasar Hukum Islam, sedangkan pihak yang beragama Khatolik ingin masalah warisannya diselesaikan oleh Pengadilan Negeri, yang berarti menggunakan dasar Hukum Perdata.


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian pewarisan
Bilamana  orang membicarakan masalah warisan, maka orang akan sampai kepada dua masalah pokok, yaitu seorang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta kekayaanya sebagai warisan dan meninggalkan orang – orang yang berhak untuk menerima harta peninggalan tersebut.
Pewarisan sendiri merupakan segala sesuatu mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia,dengan kata lain pewarisan merupakan peristiwa perpindahan hak dan kewajiban dari seorang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang merupakan ahli warisnya. Pada asanya yang dapat diwariskan hanyalah hak – hak dan kewajiban dibidang hokum kekayaan saja. Kecuali ada hak – hak dan kewajiban dalam bidang hokum kekayaan yang tidak dapat diwariskan, yaitu perjanjian kerja, hubungan kerja, keanggotaan perseroan dan pemberian kuasa.
Unsur – unsur yang terkandung dalam pewarisan yaitu :
  • Orang yang meninggal dunia ( pewaris ).
  • Orang yang masih hidup yang menerima peralihan hak dan kewajiban ( ahli waris ).
  • Hak dan kewajiban yang beralih.
B.      Syarat – syarat terjadinya pewarisan
Didalam hal pewarisan terdapat syarat – syarat yang keberadaanya perlu diperhatikan guna berjalanya perpindahan hak dan kewajiban kepada pihak – pihak yang yang berhak menerima ( ahli waris ). Adapun syarat – syarat itu adalah sebagai berikut :
  • Pewaris meninggal dengan meninggalkan harta .
  • Antara pewaris dan ahli waris harus ada hubungan darah.
  • Ahli waris harus patut menerima warisan ( pasal 383 KUHPer ).
Harta yang dapat dibagi adalah harta  peninggalan setelah dikurangi dengan biaya – biaya waktu pewaris ( almarhum ) sakit dan biaya pemakaman serta hutang – hutang yang ditinggalkan pewaris.
Syarat waris dalam hukum islam
  • Syarat pertama : meninggalnya pewaris. Yang diamaksud dengan meninggalnya pewaris baik secara hakiki maupun secara hukum adalah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka ,atau vonis yang ditetapakan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaanya. Sebagai contoh orang yang hilang yang keadaanya tidak diketahui secara pasti, sehingga hakim memvonisna sebagai orang yang telah meninggal. Hali ini harus diketahui secara pasti,karena bagaimanapun keadaanya, manusia yang masih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikanya tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, kecuali setelah ia meninggal.
  • Syarat kedua : masih hidupnya ahli waris. Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar – benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi. Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal maka diantara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup.
  • Syarat ketiga : diketahuinya posisi para ahli waris. Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaknya diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat dan sebagainya, sehingga pembagi memgetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan diberikan kepada masing – masing ahli waris.
Pasal 383 KUHPer berisi mengenai ahli waris yang tidak berhak menerima warisan. Adapun isinya adalah sebagai berikut :
Orang – orang yang tidak patut mendapatkan warisan adalah :
  1. Mereka yang telah dihukum karena membunuh atau mencoba membunuh pewaris
  2. Mereka yang karena putusan hakim secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pada si yang meninggal, ialah suatu pengaduan telah melakukan suatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat.
  3.  Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah si yang meninngal untuk mencabut wasiatnya.
  4. Mereka yang telah menggelapkan atau merusak wasiat dari si meninggal ( pewaris ).
Selain syarat – syarat diatas, dalam hal pewarisan juga terdapat prinsip umum yaitu :
  1. Pewarisan terjadi karena meninggalnya pewaris dengan sejumlah harta.
  2. Hak – hak dan kewajiban di bidang harta kekayaan beralih demi hukum.
  3. Yang berhak mewaris menurut undang – undang adalah meraka yang menpunyai hubungan darah ( pasal 832 KUHPer )
  4. Harta tidak boleh di biarkan tidak terbagi
  5. Setiap orang cakap mewaris kecuali onwaardig berdasarkan pasal 383 KUHPer.
C.      Pihak – pihak yang menjadi ahli waris
Dalam proses perpindahan hak dan kewajiban ( pewarisan ),pasti ada pihak – pihak yang akan menerima hak dankewajiban itu.adapun syarat untuk menjadi ahli waris adalah sebagai berikut :
  1. Calon ahli waris harus  sudah ada dan masih ada pada saat pewaris meninggal dunia ( pasal 836 KUHPer ), dengan mengingat pasal 2 KUHPer. 
  1. Calon ahli waris mempunyai hak atas harta peninggalan pewaris.

Hak atas waris dapat timbul karena :
·           Karena adanya hubungan darah antara pewaris dan ahIi waris ( ahli waris ab intestato / ahli waris karena undang – undang ).Hak mewaris berdasakan undang – undang :
a)        Atas dasar kedudukan sendiri ( golongan garis keutamaan )
  •  Golongan 1 ( pasal 852 – 852a KUHPer) : adalah suami / istri dan semua anak serta keturunanya dalm garis lurus kebawah.
  • Golongan II ( pasal 855 KUHPer ) : orang tua dan saudara – saudara pewaris.
  • Golongan III ( pasal 850 jo 858 KUHPer ) : kakek nenek, baik dari pihak ayah maupun ibu.
  • Golongan IV ( pasal 858 s.d 861 KUHPer) : kerabat pewaris dalam garis menyamping.
·           Karena ada pemberian melalui sebuah testament atau surat wasiat ( ahli waris testamenter ). Arti testament ( pasal 875 KUHPer ), suatu akta yang memuat tentang apa yang dikehendaki terhadap harta setelah meninggal dunia dan dapat dicabut kembali.

Unsur - unsur testamen
  • Akta
  • Pernyataan kehendak
  • Apa yang akan terjadi setelah ia meninggal terhadap akta
  • Dapat dicabut kembali
Syarat membuat Testamen
  • Dewasa
  • Akal sehat
  • Tidak dapat bpengampuan
  • Tidak ada unsur paksaan,Kekhilapan,kekeliruan
  • Isi harus jelas
Menurut hukum adat, maka untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris digunakan dua macam garis pokok, yaitu :
  •         Garis pokok keutamaan,
       Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menentukan urutan – urutan keutamaan di antara golongan – golongan dalam keluarga pewaris dengan pengertian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan daripada golongan yang lain. Dengan garis pokok keutamaan tadi, maka – maka orang yang mempunyai hubungan darah dibagi dalam golongan – golongan, sebagai berikut :
a.        Kelompok keutamaan I       :  keturunan waris.
b.        Kelompok keutamaan II      :  orang tua pewaris
c.         Kelompok keutamaan III     :  saudara – saudara pewaris dan keturunanya.
d.        Kelompok keutamaan IV     :  kakek dan nenek pewaris.
  • Garis pokok penggantian
Garis pokok penggantian adalah garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa di antara orang – orang didalam kelompok tertentu, tampil sebagi ahli waris. Yang sungguh menjadi ahli waris adalah :
a.        Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris.
b.        Orang yang tidak lagi penghubungnya dengan pewaris.
D.     Penetapan ahli waris
Pada umumnya yang menjadi ahli waris ialah para warga yang paling karib didalam generasi penerusnya, ialah anak – anak yang dibesarkan didalam keluarga sipewaris : yang pertama – tama mewaris ialah anak – anak kandung. Namun, pertalian dan solidaritas keluarga itu di sementara lingkungan hukum diterobos oleh ikatan dan pertautan kelompok kerabat yang tersusun unilineal. Adanya hak mewaris anak – anak dari kedua orang tuanya merupakan ciri dari susunan sanak parental,baik yang berdasarkan susunan suku bersegi dua, Maupun yang merupakan akibat terpecahnya susunan sanak menjadi ikatan – ikatan keluarga, misalnya  di jawa.
Mengenai ahli waris atau siapa yang menjadi wali bagi ahli waris dibawah umur serta penetapan ahli waris yang ditetapkan oleh pengadilan, tidak beda dengan aturan yang sudah ada. Misalnya dalam pasal 5 ayat ( 2 ) disebutkan, bagi ahli waris yang masih dibawah umur atau tidak cakap bertindak menurut hokum, pengelolaan atas harta kekayaan dapat dilakukan oleh orang perorangan dari keluarga terdekat. Jika orang perorangan atau keluarga terdekat tidak ada, maka dapat dilakukan oleh masyarakat setempat atau lembaga adat. Dan untuk memperoleh hak atas pengelolaan harta kekayaan, wajib mendapat pnetapan dari pengadilan. Dalam ayat (5) juga disebutkan, pengadilan dapat menyatakan penetapan pengelolaan harta kekayaan tidak berlaku apabila terjadi penyalahgunaan, pemborosan, atau merugikan kepentingan anak.
Dalam pasal 26 ayat (2) disebutkan, pengadilan dapat menetapkan pihak lain untuk mewakili hak dan kepentingan pengelolaan atas harta kekayaan anak. 
E.       Pembagian warisan
Dalam proses perpindahan hak dan kewajiban ( pewarisan ) terdapat prinsip – prinsip pembagian warisan ( pasal 1066 KUHPer ) yang harus diperhatikan dengan tujuan agar proses perpindahan hak dan kewjiban ( pewarisan ) dapat berlangsung. Adapun prinsip – prinsip pewarisan yang termuat dalam pasal 1066 KUHPer adalah :
  • Tidak seorang ahli warispun dapat dipaksa untuk membiarkan harta warisan tidak terbagi.
  • Pembagian harta warisan dapat dituntut setiap saat ( walaupun ada testament yang melarang ).
  • Pembagian dapat di tangguhkan jangka waktu 15 tahun dengan persetujuan ahli waris.
Cara pembagian warisan
Dalam proses pembagian warisan diperlukkan cara – cara yang sesuai dengan hukum agar keadilan diantara pihak yang menerima warisan dapat terwujud dan perselisihan diantara penerima warisan dapat di minimalisir. Adapun cara pembagian warisan dalam KUHPer, Seperti :
  • Dalam pasal 1069 KUHPer disebutkan, jika semua ahli waris hadir maka pembagian dapat dilakukan menurut cara yang mereka kehendaki bersama, dengan akta pilihan mereka.
  • Dalam 1071 dan 1072 KUHPer disebutkan, jika salah satu ahli waris tidak mau membantu, lalai dan belum dewasa / dibawah pengampuan, maka dengan keputusan hakim, bali harta peninggalan ( BHP ) mewakili mereka.
  • Dalam pasal 1074 KUHPer disebutkan, pembagian harus dengan akta otentik       ( asli ) yaitu segala sesuatu yang berhubungan erat dengan pembagian warisan.
F.       Undang – undang pewarisan
Terkait dengan pewarisan, pasal 24 (1) disebutkan : setiap orang dapat mempunyai hak keperdataan atas harta kekayaan berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan. Selanjutnya dalam ayat (2) dikatakan, hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihkan dan atau dipindahtangankan. Dalam hal ini pemilik hak keperdataan meninggal maka hak atas harta kekayaanya beralih kepada ahli waris yang sah berdasarkan ketentuan perundangan – undangan.    


BAB III
KESIMPULAN

Perencanaan keungan keluarga merupakan langkah bijak dan tepat bagi pasangan dan keturunan dari hasil pernikahan . Dengan perencanaan ini memberikan peluang yang lebih besar kepada keluarga untuk dapat mencapai tujuan keuangan, yaitu kebebasan dari kesulitan keuangan. Perencanaan selama kita hdup selalu menjadi prioritas utama seperti menyiapkan dana pendidikan anak, menyiapkan dan untuk masa pension nanti dan masih banyak lagi perencanaan jangka panjang lainya.
Perencanaan ini diperuntukan selama menjalani kehidupan berkeluarga. Perencanaan proteksi menjadi penting karena resilo tidak tercapainya perencanaan tujuan keuangan jangka panjang sangat mungkin terjadi. Tapi ada satu perencanaan yang sering kali atau belum dirasa perlu oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, perencanaan itu adalha perencanaan warisan. Mereka tidak membuat surat wasiat walau yang paling sederhana sekalipun. Yang telah memilikinya pun tidak pernah memperbaharuinya.
Masyarakat masih merasa tabu untuk membicarakan surat wasiat, karena keterlibatanya dengan kematian. Tapi, bila  membuat perencanaan warisan dengan baik, kelak akan mempermudah keluarga yang ditinggalkan dalam memnhatur atau mengelola asset yang ditinggalkan.
Surat wasiat ini bertujuan untuk mengatur semua kepentingan setelah meninggalkan keluarga yang dicintai. Selain dari itu, perencanaan warisan memiliki beberapa tujuan yaitu :
  • Kita sebagai keluarga dapat mengontrol seluruh asset yang dimiliki.
  • Bila pewaris memiliki usah patungan dengan mitra kerja, maka pewaris dapat melimpahkan usaha tersebut kepada siapa saja yang ditunjuk.
  • Memberikan kejelasan seputar pengelolaan dan perawatan asset yang dimiliki bila pewaris tidak lagi mapu untuk mengelolanya.
  • Melindungi asset yang pewaris miliki dari orang – orang yang tidak berhak atasnya. Sehingga pasangan dan anak – anak yang ditinggalkan mendapat apa yang menjadi bagianya.
  • Memberikan kejelasan kepada keluarga bahwa asset yang dimiliki akan diberikan oleh orang yang ditunjuk serta kapan aset tersebut di berikan serta dengan cara yang pewaris inginkan.
  • Satu tujuan akhir yag telah disebutkan sebelumnya adalah penghematan aspek pajak yang berkaitan dengan warisan.  
DAFTAR PUSTAKA
  • Sukanto soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta.CV.Rajawali.1981
  •   Sudiyanro iman. Hukum Adat. Jakarta. CV.rajawali.1981

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave a comment